Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, maka memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, agar terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.  Seorang advokat harus dapat merasakan kebebasan sebagai bagian pekerjaannya, dia tidak merasa takut dan tidak merasa terikat kepada suatu kekuasaan yang mengintervensi inheren dengan hak kebebasan tersebut, oleh karena itu pada profesi ini melekat hak imunitas advokat . Dalam hukum internasional dikenal ada tiga ketentuan yang berhubungan dengan masalah hak imunitas advokat, yaitu:

  1. Basic Principles on The Rule of Lawyers, yang menyatakan bahwa pemerintah wajib menjadi advokat dalam menjalankan tugas profesinya bebas dari segala bentuk intimidasi dan intervensi, termasuk tuntutan secara hukum.
  2. International Bar Association (IBA) Standards for Independence of Legal Profession lebih luas mendefinisikan bahwa advokat tidak hanya kebal dari tuntutan hukum secara pidana dan perdata, tetapi juga administratif, ekonomi, intimidasi, dan lain sebagainya dalam melaksanakan tugas profesinya membela dan memberi nasihat hukum kepada kliennya secara sah.
  3. The World Conference of Independence of Justice di Montreal pada tahun 1983 yang mendeklarasikan menuntut adanya sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang dapat menjamin independensi advokat.

Pemerintah sendiri mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang memberi perlindungan kepada advokat sebagai hak imunitas. Pada Pasal 16 UU Advokat tertulis bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Namun pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan atas pengujian Pasal 16 UU Advokat mengenai hak imunitas advokat.  Menurut MK, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. UU Advokat yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dimana MK menemukan perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil di antara kedua profesi tersebut.

Oleh karena itu MK pada Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 menyatakan, bahwa Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Artinya pasca putusan MK tersebut telah memberikan perluasan ruang lingkup imunitas advokat sehingga menjadi advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien baik di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan atau Advokat memiliki hak imunitas baik di dalam maupun luar pengadilan.

Dalam  hal  ini,  imunitas  advokat  juga  dibatasi  oleh  iktikad  baik, yang didefinisikan dalam  Penjelasan  Pasal  16  UU  Advokat,  yang  dimaksud  dengan  iktikad  baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela  kepentingan  klien. Iktikad  baik  yang  bersifat  objektif  dalam  hal  ini  adalah sebuah  tindakan harus  berpedoman  pada  norma  kepatutan,  yaitu  pada  apa  yang dianggap  patut pada  masyarakat.  Dalam  perspektif  subjektif  artinya  pada  kejujuran dan  sikap batin  seorang advokat  saat  melakukan  tugasnya. Selain itu, Itikad baik erat kaitannya dengan kode etik/kaidah-kaidah profesi. Keberadaan kode etik profesi sangat vital untuk menjaga agar advokat dalam beracara selalu berpedoman pada nilai-nilai etika profesi. Kode etik profesi juga memiliki kapasitas yang penting dalam menjaga advokat agar mengabdi pada masyarakat serta menjaga kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepadanya