Dalam hidup bermasyarakat, namanya sengketa selalu saja muncul. Namun kebanyakan sengketa terjadi mampu dikelola dan dihadapi sendiri. Namun bagaimana jika terjadi sengketa yang besar dan berujung pada munculnya kasus hukum di Pengadilan? Apakah orang – orang yang bersengketa mampu untuk mengelola dan menghadapi konlik secara mandiri?

 

Dalam sengketa yang cenderung besar, umumnya pihak – pihak yang bersengketa berupaya membuat benteng pertahanan. Beragam cara dilakukan, salah satunya dengan menunjuk advokat untuk mewakili kepentingan hukum dari masing – masing pihak. Dan yang paling pokok, memberikan benteng dan amunisi hukum apabila sengketa tersebut terpaksa harus berujung ke Pengadilan.

 

Namun apakah kesempatan untuk berdamai menjadi tertutup?

 

Dalam sengketa yang membesar dan telah sampai di Pengadilan, kesempatan untuk berdamai cenderung kecil, namun bukan berarti tidak mungkin. Karena sifat dasar masyarakat di Indonesia yang cenderung memilih jalur kekeluargaan dan penyelesaian secara adat, maka peluang perdamaian selalu ada dan hadir.

 

Selain itu juga dibutuhkan Mediator yang terampil dan handal yang mampu dan lihai berkomunikasi, memiliki pemahaman atas perkara yang ditangani, mampu beradaptasi dengan para pihak yang bersengketa, memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan mengontrol para pihak, mempersiapkan simulasi penyelesaian, melakukan pendekatan kepada pihak – pihak yang bersengketa, dan pandai dalam menyampaikan pesan. Pada dasarnya dalam penyelesaian sengketa dengan skema perdamaian membutuhkan mediator yang jago dalam membangun suasana untuk untuk berdamai.

 

Meski tugas mediator salah satunya adalah memiliki pemahaman yang baik atas perkara, namun seorang mediator tidak harus berpendidikan hukum. Yang penting mampu mendinginkan suasana dan kondisi yang panas dan dapat menjelaskan pesan dengan baik kepada para pihak yang bersengketa. Dan mediator juga wajib menjelaskan dengan keuntungan dan kerugian bila perkaranya diselesaikan lewat mediasi.

 

Untuk menjadi mediator yang handal dan diakui, dibutuhkan skill dan memiliki sertifikat profesi mediator. Sertifikat profesi mediator ini dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung. Karena itu seorang calon mediator wajib mengikuti pendidikan selama 40 jam sesuai silabus Mahkamah Agung, lulus ujian tertulis dan ujian simulasi.